Biasanya ketika kita berbelanja ke pasar, kita sudah mempersiapkan daftar belanja barang. Dan ketika di pasar, kita mencari toko yang sudah kita kenal, menjual barang dengan kualitas bagus, dan kita melakukan proses tawar menawar. Intinya prinsip ekonomi dipakai, dengan modal sekecil-kecilnya mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Tidak pernah dalam sejarahnya kita bisa menghasilkan uang banyak kalau kita membeli barang dengan harga terlalu mahal. Tidak akan ada yang mau membeli nya. Jika saham adalah barang, apa alasan kita memperlakukannya secara beda?
Selisih antara harga jual dan harga beli adalah potensi keuntungan kita. Jadi ketika kita membeli barangnya, kita harus menawar dengan semaksimal mungkin. Seberapa rendah kita menawar tergantung dari banyak faktor, misalnya keahlian bernegosiasi, waktu yang tersedia, jumlah barang, dan kualitas barang.
Kualitas barang mempengaruhi harga beli kita. Tidak mungkin kita membeli BMW seharga BMX. Ada batas psikologis di mana orang merasa sudah terlalu murah. Dan yang namanya psikologis adalah subjektif. Tidak ada harga pastinya. Kita bisa saja menawar dengan harga sangat rendah, yang belum tentu akan tercapai.
Jadi Tugas pertama kita adalah belajar mengenali kualitas barang. Tanpa itu, harga yang akan kita bayar menjadi tidak pasti. Banyak metode untuk mengetahui nilai dari sebuah barang. Tapi di saham, yang paling penting adalah kemampuan menghasilkan uang oleh perusahaan di belakang saham ini.
Setelah itu, barulah kita menentukan batas harga pembelian. Yang menarik, karena saham adalah bentuk kepemilikan perusahaan, dan sifatnya tidak dalam wujud fisik secara langsung, kadang harga rendah bisa dicapai. Ketika orang tidak berpikir secara rasional karena kondisi yang memburuk. Dulu pernah ada yang bertanya kepada kami, apakah membeli Blue chip dengan diskon 70% bisa dilakukan. Setelah dilihat secara historical, ternyata diskon 70% pernah dicapai di tahun 2008. Artinya kesempatan yang semakin berharga semakin langka.
Diskon sendiri bisa semakin maksimal ketika kita sering melakukannya dan belajar dari pengalaman yang ada. Dulu kami menerapkan diskon yang kecil karena berasumsi ketika pasar dalam kondisi bagus, tidak mungkin bisa mendapat di harga bawah. Ternyata beberapa saham bahkan turun sampai 50% dari titik tertinggi nya.
Dan langkah terakhir setelah membeli, adalah bersabar menunggu sampai harga yang kita inginkan terjadi, barulah kita menjual saham kita. Tidak logis ketika kita membeli barang seharga 100 dan berminat menjualnya di 300, tapi ketika ada yang menawar di 90, 100, atau di 120 kita langsung menjualnya.
Kita selalu mendengar pepatah, waktu akan menyembuhkan segalanya. Ini juga berlaku di saham. Ketika kita salah berinvestasi, dengan berjalannya waktu, perusahaan juga berubah, karena tidak ada yang mau di bawah terus. Bahkan BUMI saja setelah 4 tahun akan kembali ke harga semula.
Tapi kalau bisa lebih cepat menghasilkan, mengapa harus menunggu 4 tahun? Biasanya karena malas mencari tahu sehingga kita tidak tahu kualitas barang, asal-asalan membeli, dan tidak sabar menunggu hasil berbuah, makanya kita sering rugi di saham. Kebiasaan buruk ini membuat kita malah ingin semuanya cepat yang akhirnya mendorong kita masuk ke saham yang tidak jelas.
Lihat saja selagi BUMI butuh 4 tahun Balik ke harga semula, ada berapa puluh saham yang dalam waktu itu minimal sudah naik 100% atau lebih. Jika ada sebanyak itu yang lebih baik, mengapa mata kita hanya fokus ke 1 saham saja. Inilah salah satu faktor yang membuat kami mengambil jalan value investing.
Mempercayai fakta yang terjadi adalah lebih logis dibanding berharap di saham. Ada perbedaan jauh antara berharap dan berinvestasi.
0 comments:
Post a Comment
I need your comment, because your comment make me fell happier.