Monday, January 30, 2017

Dianggap Gila dan Menuai Sukses

Khoirul Anwar dianggap gila. Ditertawakan. Bahkan dicemooh. Idenya dianggap muskil. Tak masuk akal. Semua ilmuwan yang berkumpul di Hokkaido, Jepang, itu menganggap pemikiran yang dipresentasikan itu tak berguna.
Dari Negeri Sakura, Anwar terbang ke Australia. Tetap dengan ide yang sama. Setali tiga uang. Ilmuwan negeri Kanguru itu juga memandangnya sebelah mata. Pemikiran Anwar dianggap sampah.
Pemikiran Anwar yang ditertawakan ilmuwan itu tentang masalah power atau catu daya pada Wi-Fi. Dia resah. Saban mengakses internet, catu daya itu kerap tak stabil. Kadang bekerja kuat, sekejap kemudian melemah. Banyak orang mengeluh soal ini.
Tak mau terus mengeluh, Anwar memutar otak. Pria asal Kediri, Jawa Timur, itu ingin memberi solusi. Dia menggunakan algoritma Fast Fourier Transform (FFT) berpasangan.
FFT merupakan algoritma yang kerap digunakan untuk mengolah sinyal digital. Anwar memasangkan FFT dengan FFT asli. Dia menggunakan hipotesis, cara tersebut akan menguatkan catu daya sehingga bisa stabil.
Ide itulah yang diolok-olok ilmuwan pada tahun 2005. Banyak ilmuwan beranggapan, jika FFT dipasangkan, keduanya akan saling menghilangkan. Tapi Anwar tetap yakin, hipotesa ini menjadi solusi keluhan banyak orang itu.
Ilmuwan Jepang dan Australia boleh mengangapnya sebagai dagelan. Tapi dia tak berhenti. Anwar kemudian terbang ke Amerika Serikat. Memaparkan ide yang sama ke para ilmuwan Paman Sam.
Tanggapan mereka berbeda. Di Amerika, Anwar mendapat sambutan luar biasa. Ide yang dianggap sampah itu bahkan mendapat paten. Diberi nama Transmitter and Receiver. Dunia menyebutnya 4G LTE. Fourth Generation Long Term Evolution.
Yang lebih mencengangkan lagi, pada 2008 ide yang dianggap gila ini dijadikan sebagai standar telekomunikasi oleh International Telecommunication Union (ITU), sebuah organisasi internasional yang berbasis di Genewa, Swiss. Standar itu mengacu prinsip kerja Anwar.
Dua tahun kemudian, temuan itu diterapkan pada satelit. Kini dinikmati umat manusia di muka Bumi. Dengan alat ini, komunikasi menjadi lebih stabil.
Karya besar ini ternyata diilhami masa kecil Anwar. Dulu, dia suka menonton serial kartun Dragon Ball. Dalam film itu, dia terkesan dengan sang lakon, Son Goku, yang mengeluarkan jurus andalan berupa bola energi, Genkidama.
Untuk membuat bola tersebut, Goku tidak menggunakan energi dalam dirinya yang sangat terbatas. Goku meminta seluruh alam agar menyumbangkan energi. Setelah terkumpul banyak dan berbentuk bola, Goku menggunakannya untuk mengalahkan musuh yang juga saudara satu sukunya, Bezita.
Prinsip jurus tersebut menjadi inspirasi bagi Anwar. Dia menerapkannya pada teknologi 4G itu. Jadi, untuk dapat bekerja maksimal, teknologi 4G menggunakan tenaga yang didapat dari luar sumber aslinya.

***

Ya, karya besar ini lahir dari orang desa. Anwar lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 22 Agustus 1978. Dia bukan dari kalangan ningrat. Atau pula juragan kaya. Melainkan dari kalangan jelata.
Sang ayah, Sudjiarto, hanya buruh tani. Begitu pula sang bunda, Siti Patmi. Keluarga ini menyambung hidup dengan menggarap sawah tetangga mereka di Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang.
Saat masih kecil, Anwar terbiasa ngarit. Mencari rumput untuk pakan ternak. Pekerjaan ini dia jalani untuk membantu kedua orangtuanya. Dia ngarit saban hari. Setiap sepulang sekolah.
Meski hidup di sawah, bukan berarti Anwar tak kenal ilmu. Sejak kecil dia bahkan mengenal betul sosok Albert Einstein dan Michael Faraday. Ilmuwan dunia itu. Anwar suka membaca buku-buku mengenai dua ilmuwan tersebut, padahal tergolong berat.
Hobi ini belum tentu dimiliki anak-anak lain. Dan dari dua tokoh inilah, Anwar menyematkan cita-cita menjadi ‘The Next Einstein’ atau ‘The Next Faraday’.
Cita-cita tersebut hampir saja musnah. Saat sang ayah meninggal pada tahun 1990. Sang tulang punggung tiada. Siapa yang akan menopang keluarga? Perekonomian sudah tentu tersendat. Padahal kala itu Anwar baru saja menapak sekolah dasar.
Anwar tentu khawatir, sang ibu tak mampu membiayai sekolah. Apalagi hingga perguruan tinggi. Tapi Anwar memberanikan diri, mengungkapkan keinginan bersekolah setinggi mungkin kepada sang ibu. Kepada emak.
Anwar menyiapkan diri. Sudah siap apabila sang emak menyatakan tidak sanggup. Tapi jawaban yang dia dengar di luar dugaan. Bu Patmi malah mendorongnya untuk bersekolah setinggi mungkin.
“Nak, kamu tidak usah ke sawah lagi. Kamu saya sekolahkan setinggi-tingginya sampai tidak ada lagi sekolah yang tinggi di dunia ini,” ucap Anwar terbata, karena tak kuasa menahan haru saat mengingat perkataan emaknya itu.
Perkataan itu menjadi bekal Anwar untuk melanjutkan langkah meraih mimpi. Lulus SD, dia diterima di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Kunjang. Kemudian dia meneruskan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) 2 Kediri. Salah satu sekolah favorit di Kota Tahu itu.
Saat SMA itulah dia memilih meninggalkan rumah. Dia tinggal di rumah kost, tidak jauh dari sekolah. Jarak rumah dengan sekolah memang lumayan jauh. Dia sadar pilihan ini akan menjadi beban sang ibu.
Masalah itu membuat Anwar harus memutar otak. Dia lalu memutuskan untuk tidak sarapan demi menghemat pengeluaran. Tetapi, itu bukan pilihan tepat. Prestasi Anwar turun lantaran jarang sarapan.
“Karena tidak sarapan, setiap jam sembilan pagi kepala saya pusing,” kata dia.
Kondisi Anwar sempat terdengar oleh ibu salah satu temannya. Merasa prihatin dengan kondisi Anwar, ibu temannya itu menawari dia tinggal menumpang secara gratis. Anwar tidak perlu lagi merasakan pusing saat sekolah. Sarapan sudah terjamin dan prestasi Anwar kembali meninggi.
Lulus dari SMA 2 Kediri, Anwar lalu melanjutkan pendidikan ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Elektro dan ditetapkan sebagai lulusan terbaik pada 2000. Dia kemudian mengincar beasiswa dari Panasonic dan ingin melanjutkan ke jenjang magister di sebuah universitas di Tokyo.
Sayangnya, Anwar tidak lolos seleksi universitas tersebut. Dia merasa malu dan tidak ingin dipulangkan. Alhasil, dia memutuskan beralih ke Nara Institute of Science and Technology NAIST dan diterima.
Di universitas tersebut, Anwar mengembangkan tesis mengenai teknologi transmitter dan menggarap disertasi bertema sama dalam program doktoral di universitas yang sama pula.
Dan Anwar, kini telah menelurkan karya besar. Temuan yang ditertawakan itu dinikmati banyak orang. Termasuk para ilmuwan yang mengolok-olok dulu...
Sumber: dream.co.id

Friday, January 27, 2017

Let’s Talk About ANGPAO & IMLEK

Yang biasa dilakukan pada saat IMLEK salah satu nya adalah SOJA, Boleh dikatakan,..bahwa ternyata masih banyak orang Tionghoa yang belum tahu bagaimana seharusnya melakukan soja yang benar.

Dalam bahasa Mandarin, Soja disebut Gongshou yang dalam dialek Hokkian ada Kiongchiu (ejaan lama Kiongtjhioe) Cara soja yang benar berdasarkan pedoman seharusnya YANG memeluk YIN atau Tangan kanan dikepal kemudian tangan kiri menutupi tangan kanan dan jari jempol harus berdiri lurus, dan menempel keduanya.
  • Soja kepada yang lebih tua dengan mengangkat sejajar mulut.
  • Soja kepada yang seumuran sejajar dengan dada
  • Soja kepada yang lebih muda sejajar dengan perut.
  • Sedangkan, Soja kepada para dewa harus sejajar dengan mata.
  • Dan kalau Soja kepada Tuhan harus di atas kepala. 
Pada saat dahulu kala di hari raya Tahun Baru Imlek, anggota keluarga saling mengucapkan Sin Cun Kiong Hie (Xin Chun Gong Xi) yang berarti Selamat menyambut musim semi atau Selamat Tahun Baru. Tetapi ucapan demikian sekarang udah kuno alias tidak trendi lagi, karena telah diganti dengan ucapan Gong Xi Fa Cai (Kiong Hie Hoat Tjay) yang berarti semoga sukses selalu atau selamat jadi kaya, mereka yang ingin mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek dengan kalimat yang lebih lengkap biasa menggunakan "Gong Xi Fa Cai, Wan Shi Ru Yi, Shen Ti Jian Kang” yang berarti: semoga sukses selama-lamanya dan selalu dalam keadaan sehat

Tradisi Tahun Baru Imlek selalu dikaitkan pula dengan pemberian angpau. Kata angpau itu sendiri berasal dari dialek Hokkian yang arti harfiahnya adalah bungkusan atau amplop merah. Warna merah itu dalam Budaya Tionghoa berarti lambang warna pembawa hokie maupun kegembiraan.

Angpau bukan hanya diberikan pada saat Tahun Baru Imlek saja, melainkan lazim juga diberikan pada saat pesta pernikahan, masuk rumah baru, ulang tahun, maupun acara-acara pesta lainnya. Yang berkewajiban memberi angpau pada umumnya orang yang telah berkeluarga sebab dalam budaya Tionghoa, Pernikahan itu merupakan batasan antara masa kanak-kanak dan dewasa, di samping itu orang yang telah menikah, kebanyakan secara ekonomi pasti sudah jauh lebih mapan. Walaupun demikian bagi mereka yang belum menikah, tetapi ingin juga turut memberikan angpau, maka sebaiknya uang tersebut diberikan dengan tanpa menggunakan amplop merah. Jumlah uang yang ada dalam sebuah amplop angpao bervariasi. Untuk perhelatan yang bersifat suka cita biasanya besarnya dalam angka genap, angka ganjil untuk kematian.

Angka Empat ter-asosiasi dengan ketidakberuntungan, karena pelafalan angka empat (shi, 四) berarti *Mati (shi wang, 死亡). Jumlah uang dalam amplop angpao dihindari menggunakan angka empat. Walaupun demikian, angka delapan (8) terasosiasi untuk keberuntungan. Pelafalan angka delapan (8) berarti *kekayaan Makanya jumlah uang dalam amplop angpao seringkali merupakan *kelipatan delapan (8).

Kewajiban memberi angpau bukan terhadap anak-anak saja, melainkan juga kepada orang yang dituakan. Pemberian angpau pada hari Tahun Baru Imlek itu sendiri sebenarnya mempunyai makna yang lebih dikenal dengan sebutan Ya Sui yang berarti hadiah untuk anak-anak dalam rangka pergantian tahun maupun pertambahan usia.

Tradisi Ya Sui ini sudah dikenal sejak jaman Ming dan Qing. Karakter Sui dalam Ya *Sui*berarti “umur”, dan ini sebenarnya mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui lainnya yang berarti “bencana”. Jadi, Ya Sui ini bisa juga diartikan sebagai simbol atau lambang untuk penangkal bencana, dengan harapan anak-anak yang mendapatkan hadiah Ya Sui tersebut akan terlindungi selama setahun mendatang dengan tanpa adanya gangguan penyakit maupun bencana.

Sebenarnya kalau ditelusuri dengan benar, pemberian angpau ini belum dikenal ketika jaman dahulu, sebab mereka baru mengenal dan baru menggunakan uang kertas pada pada jaman dinasti Song dan uang kertas tersebut baru benar-benar menyebar luas secara resmi pada jaman dinasti Ming. Nominal uang kecil yang beredar di Tiongkok pada saat itu masih dalam bentuk koin perunggu yang diberi lubang segi empat di tengahnya dan ini lebih dikenal dengan nama Wen atau Tongbao. Koin-koin yang akan dihadiahkan tersebut sebelumnya diikat terlebih dahulu menjadi untaian uang dengan menggunakan tali merah. Orang-orang kaya memberikan untaian uang sampai 100 koin, sebab ini juga melambangkan umur panjang.

Angpao bukan dinilai dari besar kecilnya, melainkan ketulusan hati saat memberi yang berisi DOA dan HARAPAN kepada yang menerimanya
Website counter [Close]